Dalam Beribadah, Hanya Niat Baik Semata Itu Tidak Cukup (Bag. 2)
Baca pembahasan sebelumnya Dalam Beribadah, Hanya Niat Baik Semata Itu Tidak Cukup (Bag. 1)
Dalam seri sebelumnya, kami sebutkan beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa dalam syariat, semata-mata niat baik saja itu tidak cukup. Namun tetap harus sesuai dengan petunjuk atau sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Prinsip ini juga yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan generasi terbaik setelahnya sebagaimana pelajaran-pelajaran berikut ini.
Pelajaran ke lima: Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu mengingkari majelis dzikir
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Salamah Al-Hamdani radiallahu’anhu, beliau berkata,
“Suatu ketika kami duduk di depan pintu rumah ‘Abdullah bin Mas‘ud sebelum shalat subuh. Apabila beliau keluar, kami akan berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba, datanglah Abu Musa Al-Asy‘ari, lalu bertanya, “Apakah Abu ‘Abdirrahman telah keluar rumah?”
Kami menjawab, “Belum.”
Dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas‘ud keluar. Ketika beliau keluar, kami semua bangun untuk menyambutnya.
Lalu Abu Musa Al-Asy‘ari berkata kepadanya, “Wahai Abu ‘Abdirrahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang tidak aku setujui, tetapi aku tidak melihat –alhamdulilah- melainkan perkara yang baik.”
Dia bertanya, “Apakah itu?”
Abu Musa berkata, “Jika umur engkau panjang, engkau akan melihatnya. Aku melihat sekelompok orang, mereka duduk dalam lingkaran (halaqah) menunggu shalat. Pada setiap kelompok, ada seorang lelaki yang di tangan mereka memegang batu. Apabila lelaki itu berkata,‘Bertakbirlah seratus kali!’, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata,‘Bertahlil-lah seratus kali’, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata,‘Bertasbihlah seratus kali’, mereka pun bertasbih seratus kali.”
‘Abdullah bin Mas‘ud radiallahu’anhu berkata, “Apa yang telah Engkau katakan kepada mereka?”
Abu Musa menjawab, “Aku tidak mengatakan apa-apa kepada mereka karena aku menanti pendapat dan perintahmu.”
‘Abdullah bin Mas‘ud radiallahu’anhu berkata, “Mengapa Engkau tidak memerintahkan mereka menghitung kejelekan-kejelakan mereka dan Engkau jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan sia-sia sedikit pun.”
Lalu beliau berjalan, kami pun berjalan bersamanya. Sehingga beliau tiba di salah satu kelompok melingkar tersebut. Beliau berdiri lantas berkata, “Apa ini yang aku lihat kalian sedang melakukannya?”
Mereka menjawab, “Wahai Abu ‘Abdirrahman! Ini adalah batu yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih.”
Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu menjawab,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ
“Hitunglah dosa-dosa (kejelekan) kalian, dan aku jamin pahala-pahala (kebaikan) kalian tidak akan sia-sia sedikit pun. Celaka kalian, wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kebinasaan kalian. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih banyak, baju beliau belum lusuh, dan wadah makanan dan minuman beliau pun belum pecah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada di atas agama yang lebih mendapatkan petunjuk daripada agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sebenarnya kalian sedang membuka pintu-pintu kesesatan?”
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdirrahman, kami hanya bertujuan baik.”
Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu menjawab,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, tetapi mereka tidak mendapatkannya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunan-nya no. 204 dengan sanad yang hasan)
Ketika Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu menjumpai sekelompok orang yang berdzikir namun dengan tata cara yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu menjelaskan bahwa hal itu hanya mengandung dua kemungkinan:
Pertama, mereka menyangka bahwa mereka lebih mendapatkan petunjuk dari agama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ke dua, mereka sedang membuka pintu-pintu kesesatan dalam agama ini.
Dan ketika mereka mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu mereka dasari atas niat baik, maka Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu pun menjelaskan bahwa betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya karena mereka salah jalan.
Perkataan Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu ini adalah di antara kalimat-kalimat yang perlu dicatat dengan tinta emas.
Pelajaran ke enam: Ibnu ‘Umar mengingatkan orang yang bersin
Diriwayatkan dari Nafi’, ada seseorang yang bersin di samping Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, kemudian orang tersebut mengatakan,
الحَمْدُ لِلَّهِ، وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
“Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasulillah.” (Segala puji bagi Allah dan semoga keselamatan tercurahkan kepada Rasulullah.”
Mendengar hal itu, sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
وَأَنَا أَقُولُ: الحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَلَّمَنَا أَنْ نَقُولَ: الحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
“Saya memang mengucapkan ‘alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasulillah’. Akan tetapi, bukan seperti itu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengajarkan kami untuk mengucapkan “alhamdulillah ‘ala kulli haal” (segala puji bagi Allah pada setiap keadaan).” (HR. Tirmidzi no. 2738, hadits hasan)
Lihatlah bagaimana sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menegur seseorang yang mengucapkan “alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasulillah” ketika bersin. Tidak ada yang salah dengan ucapan tersebut, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, beliau menegur karena bukan ucapan seperti itu yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersin.
Pelajaran ke tujuh: Shalat sunnah qabliyah subuh lebih dari dua rakaat
Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib rahimahullah, beliau melihat seorang laki-laki yang shalat sunnah setelah terbit fajar (shalat sunnah qabliyah subuh) lebih dari dua rakaat, dia perbanyak ruku’ dan sujud dalam shalat tersebut. Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang tersebut berkata,
يا أبا محمد! يعذبني الله على الصلاة؟
“Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengadzabku karena aku (memperbanyak) shalat?”
Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab,
لا، ولكن يعذبك على خلاف السنة
“Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diadzab) karena menyelisihi sunnah (petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2/366; Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1/147; ‘Abdur Razzaq, 3/25; Ad-Darimi, 1/116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan)
Lihatlah, betapa indah jawaban yang disampaikan oleh Sa’id bin Musayyib rahimahullah kepada orang tersebut. Ini adalah jawaban yang tajam kepada siapa saja yang membuat-buat ibadah jenis baru dengan mengatas-namakan (memperbanyak) dzikir atau shalat! Setelah itu, mereka pun menuduh orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah yang mengingkari perbuatan mereka tersebut. Mereka menuduh bahwasannya orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah tersebut menolak atau mengingkari ibadah dzikir atau shalat. Padahal, yang diingkari sebetulnya adalah penyelisihan terhadap sunnah dalam praktek atau tata cara berdzikir atau shalat. Maka renungkanlah hal ini.
Pelajaran ke delapan: Imam Malik bin Anas rahimahullah dan tempat dimulainya ihram
Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah, beliau berkata, “Aku mendengar dari Imam Malik bin Anas, beliau didatangi oleh seseorang. Orang tersebut berkata, “Wahai Abu Abdillah, dari mana Engkau mulai berihram?”
Imam Malik menjawab, “Dari Dzul Khulaifah (sekarang: Bir Ali), dari tempat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berihram.”
Orang tersebut berkata, “Aku ingin memulai ihram dari masjid si samping kubur Nabi.”
Imam Malik mengatakan, “Jangan Engkau lakukan, karena aku khawatir Engkau akan tertimpa fitnah.”
Orang tersebut berkata, “Fitnah seperti apa yang ditakutkan dari perbuatan semacam ini? Ini hanyalah beberapa mil yang aku tambahkan (untuk berihram).”
Imam Malik menjawab perkataan orang tersebut dengan sangat indah,
وأي فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إلى فضيلة قصر عنها رسول الله صلى الله عليه و سلم؟ إني سمعت الله يقول:
“Fitnah apakah yang lebih besar daripada ketika Engkau menyangka bahwa Engkau memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sesungguhnya aku mendengar Allah Ta’ala mengatakan,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur [24]: 63) (Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1/148; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/326; Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, no.232, dan lain-lain)
Sekali lagi, renungkanlah jawaban Imam Malik kepada orang tersebut. Orang tersebut tentu saja memiliki niat yang baik ketika ingin mulai berihram di satu tampat yang lebih jauh dari tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai ihram. Namun, Imam Malik justru mengingatkan bahwa bisa saja dia akan tertimpa fitnah (ujian dan bencana) karena tindakan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai kesimpulan, niat baik semata di dalam agama ini tidaklah teranggap sampai dia beramal dan beribadah sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Selesai]***
@Sint-Jobskade 718 NL, 24 Ramadhan 1439/ 9 Juni 2018
Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel asli: https://muslim.or.id/40418-dalam-beribadah-hanya-niat-baik-semata-itu-tidak-cukup-bag-2.html